Benarkah ilmu umum dapat dipisahkan dengan ilmu Agama?
Sebenarnya tidak ada pemisahan antara ilmu umum dan ilmu Agama. Pemisahan warisan kolonialisme ini harusnya segera disatukan kembali karena sebenarnya ilmu berasal dari satu sumber, yaitu bersumber dari Allah ta’ala.
Dengan adanya pemisahan ini, maka muncullah istilah-istilah seperti:
- Pengetahuan umum dan pengetahuan Agama
- Urusan dunia dan urusan Agama
- Sekolah umum dan sekolah Agama
- Kurikulum umum dan kurikulum Agama
- Guru umum dan guru Agama
- Pelajaran umum dan pelajaran Agama
- dsb.
Hal ini akan memunculkan juga anggapan bahwa Agama merupakan sesuatu yang terpisah dengan kehidupan pada umumnya. Sehingga masyarakat umum merasa tidak perlu mempelajari ilmu Agama karena menganggap Agama bukanlah kebutuhan hidupnya, dan menganggap bahwa Agama hanya perlu dipelajari oleh orang yang ingin menjadi kiyai, ustadz, da’i, penceramah, dsb. Hal ini menjadikan kebutuhan masyarakat umum kepada Agama hanyalah berupa ritulal-ritual seperti tahlilan, yasinan, syukuran, dsb, yang mana pada ritual tersebut masyarakat umum menyerahkan sepenuhnya kepada orang yang dianggap mengerti Agama untuk mengaturnya. Dan lebih parahnya lagi masyarakat menganggap bahwa penerapan Agama dalam kehidupan sehari-hari hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang yang dianggap mengerti Agama saja.
Meskipun demikian, dalam dunia pendidikan tetaplah diperlukan adanya pemisahan materi keilmuan, bukan dengan dipisah menjadi ilmu umum dan ilmu Agama, tetapi dipisah berdasar ilmu wajib dan dan ilmu pilihan, yang pemisahannya didasarkan pada dua tujuan hidup manusia (1).
Ilmu wajib adalah ilmu-ilmu yang terkait dengan hal-hal yang diwajibkan oleh Allah ta’ala yang harus dimampui oleh setiap orang, yaitu meliputi ibadah-ibadah wajib dan keterampilan dasar hidup.
Ilmu wajib inilah yang digunakan untuk menunaikan ibadah wajib dan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar sehari-hari yang ma’ruf dan masyru’. Yang dimaksud ma’ruf dan masyru’ adalah kebutuhan minimal hidup menurut ‘urf (kebiasaan) masyarakat umum dan yang dibolehkan oleh syari’at.
Diantara yang termasuk ilmu wajib antara lain:
- Ilmu aqidah yang terkait dengan penumbuhan keikhlasan dan mahabbatullah.
- Ilmu tentang tata cara shalat wajib, tata cara puasa wajib, dan ibadah wajib lainnya beserta prakteknya.
- Hafalan Al Qur’an yang digunakan untuk shalat wajib.
- Ilmu matematika, Bahasa Indonesia, IPA, bahasa Arab, Hadits, dan materi pelajaran lain yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari di masyarakat umum.
- dsb
Maka jika seseorang mampu melakukan ibadah shalat wajib, puasa wajib, dapat menghitung kembalian uang ketika membeli, memahami perubahan zat dari es menjadi air, mampu mengendarai sepeda motor, mampu menggunakan HP dengan bijak, mampu mengasuh anak ketika dewasa, mampu mengurus rumah tangga bagi seorang ibu, mampu mencari nafkah bagi seorang ayah, dll, hal ini merupakan kemampuan dasar hidup yang harus dimampui oleh setiap orang. Jika tidak, maka orang tersebut dikatakan belum berakhlaq atau dikatakan belum shalih.
Adapun ilmu pilihan adalah ilmu yang dipilih oleh masing-masing orang sesuai dengan kemampuannya. Ilmu pilihan ini terkait dengan ibadah sunnah dan ilmu-ilmu yang terkait dengan potensi unggul (bakat) yang dimilikinya. Dan hal ini masing-masing orang berbeda-beda.
Diantara yang termasuk ilmu pilihan antara lain:
- Ilmu aqidah, fiqih, waris, tarbiyah, dan lainnya yang akan membuat dirinya menjadi ahli ilmu dibidang yang ditekuninya.
- Ilmu Al Qur’an yang akan menjadikan dirinya hafizh/ah dan ahli Al Qur’an.
- Ilmu Hadits yang akan menjadikan dirinya ahli hadits.
- Ilmu matematika yang akan membuat dirinya menjadi ahli matematika.
- Ilmu bahasa arab yang akan membuat dirinya menjadi ahli ilmu bahasa arab.
- dsb
Maka untuk menjadi ahli ilmu Hadits, ahli ilmu Fiqih, ahli ilmu Al Qur’an, ahli bahasa arab, dan ahli ilmu-ilmu lainnya, tidak dapat dipaksakan dan disamarakatan kepada semua orang. Demikian juga untuk melaksanakan shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah, dsb, tidak dapat juga dipaksakan dan disamaratakan kepada semua orang. Jika seseorang belum memiliki keahlian yang mendukung kebermanfaatannya bagi umat ini, maka dikatakan bahwa orang tersebut belum memiliki amalan unggulan dan belum bermanfaat bagi orang lain atau dikatakan belum mushlih.
Jika disatukan antara ilmu umum dan ilmu Agama, serta dipisahkan sesuai kebutuhan anak didik, maka akan menyatulah Agama dalam kehidupan umum sehari-hari, dan dalam mempelajarinya anak didik merasa mudah dan menyenangkan.
Abdul Kholiq
Sekolah Karakter Imam Syafi’i (SKIS) Semarang
Catatan kaki:
(1) Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan yang diselaraskan dengan tujuan hidup manusia yang sebenarnya merupakan tujuan Allah menciptakan manusia, yaitu untuk beribadah dan menjadi khalifah dimuka bumi ini. Wujud dari beribadah kepada Allah ta’ala dapat dilihat pada diri yang shalih (orang yang baik) dan wujud khalifah pemakmur bumi yang bermanfaat bagi umat ini dapat dilihat pada diri yang mushlih (orang yang memperbaiki). Menjadi shalih adalah ma’ruf, wajib dan sama rata bagi setiap manusia karena hal ini merupakan akhlaq, tetapi kemushlihan setiap manusia berbeda-beda bagi setiap individu sesuai bakatnya masing-masing. Maka untuk meraih tujuan hidup tersebut ada ilmu wajib dan ilmu pilihan.
- Allah ta’ala berfirman:
﴿وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ﴾
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adh Dhariyat:56)
- Allah ta’ala juga berfirman:
﴿هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ ﴾
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi”. (QS. Fatir:39)